Bab
12 PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab
1
Pendahuluan
Konsumen
yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan
barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan
dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Bab
2
Pembahasan
PENGERTIAN KONSUMEN
Konsumen
yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan
barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan
dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada
sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A. Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan konsumen.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun
spiritual.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut
ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia
persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti
telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha
juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
3.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak
bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban
konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang
akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum
di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
BAB VI
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU
USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan
tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki
pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain
tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik
melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas
mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus
Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna
(baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah
dipakai.
Tercemar: menjadi cemar
(rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan
rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah
tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan,
namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda
tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran
BAB VII
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung
jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk
timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk
yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan
hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun
1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung
jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21
mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang
membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
cacat barang timbul pada kemudian hari;
cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan
BAB VIII
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa lega dengan
lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau
tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di
dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen
dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha
yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang
disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi
bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman
kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut
biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat
“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan
pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima)
tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya
karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula
baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak
para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi
ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku
tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan
cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya
sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan
ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat
diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak
Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum
yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia
perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang
jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan
konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat
(3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi
pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian(
Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
Ganti rugi dalam bentuk :
Pengembalian uang atau
Penggantian barang atau
Perawatan kesehatan, dan/atau
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
Kurungan :
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9,
10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11,
12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
Pengumuman keputusan Hakim
Pencabuttan izin usaha;
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Bab
3
Penutup
Konsumen
yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan
barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
SUMBER :
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
http://www.wikipedia.com
Nama
: Chitra amalia winarsyah
Kelas
: 2 EB 24
NPM
: 21212597
Aspek
dalam hukum ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar